Dilansir dari Reuters, Jumat (30/11), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,75 atau 1,3 persen menjadi US$59,51 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung harga Brent sempat terdongkrak ke level US$60,37 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Amerika Serikat (AS) sebesar US$1,16 atau 2,3 persen menjadi US$51,45 per barel. Harga WTI sempat menyentuh level US$52,2 per barel sepanjang sesi perdagangan.
Sejauh ini, harga minyak mentah dunia pada November telah terjerembab hampir 22 persen. Secara bulanan, harga minyak November anjlok seperti kejadian saat terjadi krisis finansial 2008.
Kenaikan terus-menerus pasokan minyak mentah AS, produsen minyak terbesar dunia saat ini, telah menekan harga bersama Arab Saudi yang menyatakan tidak akan memangkas produksinya sendiri untuk menstabilkan pasar. Dampaknya, harga Brent bulan ini sempat tertekan di bawah US$58 per barel, level terendah untuk tahun ini.
Harga minyak dunia bangkit setelah sejumlah sumber Reuters menyatakan Rusia tengah mempertimbangkan untuk ikut memangkas pasokan bersama Arab Saudi dan anggota OPEC lainnya.
Menteri Energi Rusia Alexander Novak menggelar rapat dengan sejumlah pimpinan perusahaan minyak Rusia pada Selasa (28/11) kemarin, sebelum menghadiri pertemuan dengan OPEC dan sekutunya pada 6-7 Desember 2018 di Wina, Austria.
"Gagasan pada rapat tersebut adalah Rusia perlu memangkas (produksi minyak). Pertanyaan utamanya adalah seberapa cepat dan seberapa banyak, ujar sumber Reuters yang mengikuti pembicaraan perusahaan minyak Rusia dengan Kementerian Energi Rusia.
Rabu (28/11) lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menyatakan ia terus berhubungan dengan OPEC dan siap untuk terus bekerja sama terkait pasokan jika diperlukan. Namun, ia puas dengan harga minyak dunia di level US$60 per barel. Sebagai catatan, Rusia merupakan produsen minyak terbesar dunia.
Partner Again Capital John Kilduff mengungkapkan, saat ini, pasar berekspektasi pemangkasan produksi sebesar satu juta barel per hari (bph) oleh OPEC dan sekutunya menjadi mungkin.
Harga minyak mentah merosot dari level tertinggi pada perdagangan Kamis (29/11) setelah Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserves merilis notulensi rapat kebijakan terakhir yang menyatakan kenaikan suku bunga acuan bakal terjadi dalam waktu dekat. Imbasnya, indeks dolar AS menguat melawan sekeranjang mata uang negara lain di pasar sehingga menekan harga minyak yang diperdagangkan dengan denominasi dolar AS.
Di AS, data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan stok minyak mentah Negeri Paman Sam menyentuh level tertingginya dalam setahun terakhir. Stok minyak AS terkini hanya 80 juta barel di bawah rekor Maret 2017 yang mencapai 535 juta barel.
Pelaku pasar memperkirakan stok minyak mentah AS bakal kembali menanjak pada pekan terakhir dengan mengutip data yang dirilis Genscape. Dalam laporan mingguan Genscape, stok minyak AS di hub pengiriman Cushing, Oklahoma naik 771.924 per barel sejak 23 November 2018 lalu.
Pemerintah AS menyatakan cadangan minyak AS tahun lalu melampaui rekor 47 tahun silam saat melonjak 6,4 miliar barel atau 19,5 persen menjadi 39,2 juta barel.
Saat ini, perhatian investor terarah pada pertemuan pemimpin negara G20 yang diselenggarakan pada 30 November hingga 1 Desember 2018, dengan pembicaraan terkait hubungan perdagangan AS-China menjadi fokus.
Menurut Kilduff, antisipasi pertemuan G2O kemungkinan bakal mendorong harga minyak lebih tinggi meski trader berhati-hati terhadap aksi jual sebelum pertemuan berlangsung.
"Kita telah melihat kenaikan yang sangat besar pada pasokan dan gambaran permintaan masih menjadi pertanyaan. Kendati demikian, kita kemungkinan akan melihat sejumlah pergerakan pada isu perdagangan global dalam pertemuan G20 yang akan dimulai pada Jumat ini," ujar Kepala Strategi CMC Markets and Stockbroking Michael McCarthy. (sfr/rea)
https://ift.tt/2TShY8V
November 30, 2018 at 04:33PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2TShY8V
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment