Acin misalnya, saat berusia 21 tahun, terpaksa jadi pengantin pesanan karena ingin lepas dari jerat kemiskinan. Dia dipaksa orang tuanya menikah dengan seorang pria Taiwan supaya bisa memperbaiki ekonomi keluarga. Bagi orang Singkawang, menikah dengan pria Taiwan sering kali dianggap sebagai satu-satunya jalan lepas dari gubuk derita.
Alhasil, Acin yang merupakan seorang janda beranak satu itu mesti meninggalkan anaknya dan hijrah ke Taiwan mencoba peruntungan.
Acin masuk dalam radar mak comblang yang jadi perantara pria-pria Taiwan untuk mencari amoy Singkawang. Sistem pengantin pesanan berawal dari pria Taiwan yang mencari seorang istri dan menghubungi agen di Singkawang. Agen inilah yang disebut sebagai mak comblang.
Pria Taiwan itu akan memberikan kriteria-kriteria istri yang diinginkannya. "Ada banyak macam seperti shio, usia sampai ketekunan," kata Mya Ye saat bercerita tentang Acin, tokoh di dalam buku terbarunya yang bertajuk Pengantin Pesanan. Buku yang mengangkat fenomena pengantin pesanan di Singkawang itu baru saja diluncurkan beberapa waktu lalu di Perpustakaan Setjen MPR RI.
Sang mak comblang pengantin pesanan akan mencari yang sesuai dengan permintaan si pria. Tak jarang, mereka blusukan hingga ke penjuru Singkawang untuk mendapatkan amoy yang sesuai pesanan.
Bujuk rayu pun sering dikeluarkan demi menggaet calon pengantin. Seperti kisah Acin, ketika itu mak comblang merayu orang tua Acin agar anaknya mau dibawa ke Taiwan. "Disuruh orang tuanya. Dia (Acin) awalnya enggak begitu mau karena ada trauma dengan perceraian pertama dan anaknya masih kecil," tutu Mya.
Saat calon pengantin pesanan sudah ditemukan, mak comblang akan mengatur pertemuan antara kedua belah pihak. Ketika sudah mengenal ala kadarnya, sang pengantin pesanan boleh meminta mahar dari mempelai pria. Tak lama atau dalam hitungan hari, pernikahan pun dilangsungkan.
Dalam beberapa kasus, sang calon pria hanya mengirimkan pesan dan tidak datang ke Indonesia. Dia benar-benar menyerahkan semuanya ke mak comblang dan pengantin wanita akan dibawa ke Taiwan.
Tentu saja tak ada cinta yang tumbuh di awal pertemuan ini. "Waktu itu sih dia bilang enggak yah. Cinta tumbuh di atas ranjang saja," ucap Mya seraya tertawa.
Pernikahan lalu digelar secara adat, agama, dan negara. Mempelai pria dikenalkan ke seluruh keluarga sekaligus meminta izin membawa sang istri ke Taiwan. Mereka pun juga mengurus kelengkapan dokumen seperti surat nikah ke pencatatan sipil Singkawang dan izin tinggal di Taiwan.
Setelahnya, amoy diboyong ke daratan China itu. Di sana, amoy biasanya akan bekerja membantu suaminya untuk mendapatkan penghasilan. Acin membantu suaminya berjualan daging di sebuah pasar tradisional. Dari situlah Acin mengumpulkan uang untuk dikirim ke Indonesia.
Jika sedang banyak rezeki, uang bisa dikirim per bulan. Kalau tidak, uang dikumpulkan dan dikirimkan jelang hari-hari besar seperti Natal atau saat anak masuk sekolah.
Uang itu biasa digunakan keluarga di Singkawang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, memperbaiki rumah yang lapuk dan sebagainya.
Acin merupakan salah satu contoh amoy yang mampu membawa perubahan pada keluarganya. Namun, dalam beberapa kasus, pengantin pesanan ini juga jadi korban kekerasan, pelacuran, hingga perdagangan manusia.
Fenomena pengantin Singkawang ini sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Praktik ini berawal dari gelombang besar tentara atau veteran Taiwan yang tidak punya istri, duda, atau bujang. Pemerintah setempat menetapkan peraturan jika tak punya keturunan semua warisan akan diambil oleh negara.
Tak ingin disita negara, para pria ini kelimpungan mencari istri hingga ke Singkawang yang terkenal memiliki banyak janda dan gadis. Dari situlah pengantin pesanan mulai berlangsung.
Perempuan-perempuan Singkawang dianggap punya kesamaan dengan pria Taiwan seperti dari segi bahasa. Amoy Singkawang mayoritas merupakan keturunan Hakka dengan bahasa Kek yang juga digunakan di Taiwan walaupun berbeda dialek.
Di tahun 2000-an, alasan menikah pun mulai bergeser. Di era modern ini, pria-pria di Taiwan banyak yang tidak menikah karena alasan ekonomi. Pria kalangan menengah dengan penghasilan pas-pasan sulit mendapatkan istri. Alhasil, mereka rela jauh-jauh mencari istri ke Singkawang.
"Di Singkawang sampai detik ini masih ada," ungkap Mya.
Setidaknya, tercatat ada 13.451 orang amoy di kota Hsinchu, Taiwan. Namun, secara tidak resmi diperkirakan terdapat 30 ribu amoy di kota itu.
Selain Singkawang, pria Taiwan ini juga mencari wanita dari Kamboja, Myanmar, dan Vietnam.
Bukan Pengantin Pesanan
Praktik pengantin pesanan ini menuai pro dan kontra. Bupati Singkawang periode 2007-2012, Hasan Karman, mengaku tak setuju pernikahan ini disebut sebagai pengantin pesanan. Menurutnya, pernikahan itu lebih cocok disebut dengan pernikahan lintas batas atau pengantin antarnegara.
"Karena kalau pesanan kayak jual beli orang, pernikahan dua negara ini lebih manusiawi. Ini bukan pengantin pesanan, tapi pengantin beneran," ucap Hasan.
Hasan menjelaskan perkawinan ini bukan jual beli melainkan sah secara adat dan tercatat di kedua negara.
Selama menjabat Bupati Singkawang dan sempat bertugas menandatangani surat nikah, Hasan mengaku banyak menandatangani surat nikah antara pria-pria Taiwan dan amoy Singkawang.
Pemerintah Singkawang juga menjalin beberapa kerja sama dengan pemerintah Taiwan untuk memastikan kondisi para amoy.
"Waktu saya berkunjung ke sana, wali kota di Hsinchu bilang bahwa jangan khawatir dengan pengantin di sini. Pemerintah di sana mengalokasikan pendidikan untuk mereka. Kondisi ini lebih baik dari pada mereka di Indonesia," tutur Hasan.
Namun, Hasan tak menampik memang ada beberapa kasus yang melenceng seperti kekerasan dan perdagangan manusia. "Itu hanya kasus tertentu, di manapun bisa terjadi," ujar Hasan. (ptj/asr)
https://ift.tt/2AK61th
November 30, 2018 at 07:05PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2AK61th
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment