Sebagai pemusik, guru, dan tentunya warga negara Indonesia, pria yang akrab disapa Ages ini mengaku prihatin melihat anak-anak nusantara yang kian melupakan kebudayaan Indonesia, termasuk lagu-lagu nasional dan daerah.
"Ketika mendengar banyak kabar bahwa lagu daerah kita diambil negara orang, saya merasa perlu melakukan sesuatu. Namun untuk melestarikan budaya, masyarakat harus mengenal dekat budayanya sendiri terlebih dahulu," ujar Ages ketika dihubungi melalui sambungan telepon oleh CNNIndonesia.com, pekan kemarin.Bemodal nekad dan ambisi melestarikan budaya Indonesia, Ages akhirnya mendirikan Taman Suropati Chamber pada tahun 2007.
Taman Suropati Chamber merupakan komunitas bermusik di Taman Suropati, Jakarta, di mana anggota dapat berlatih bersama dan belajar bermain alat musik gesek bersama Ages dan kawan pengajar lainnya.
Berdirinya komunitas tersebut diawali dari kegiatan workshop musik keroncong yang disambangi Ages di Belanda.
Kala itu, ia melihat teman-teman pemusik di Belanda sedang berlatih musik di tengah taman kota.
"Tapi mereka bukan komunitas yang memang rutin berlatih di taman. Saat itu memang lagi latihan saja di taman," tuturnya.
Berpulang dari Belanda, ia terinspirasi untuk melakukan hal serupa dengan mengajak kawan sesama pemusik berlatih bersama di Taman Suropati, Jakarta.
"Dengan berlatih di ruang publik, kami seperti memberi wadah rekreasi bagi pengunjung. Sambil berolahraga di taman, pengunjung dapat menyaksikan kami bermain," kata Ages.
Awalnya, kegiatan yang dilakukan hanya sebatas latihan sesama pemusik saja. Lagu-lagu yang dimainkan adalah lagu nasional dan daerah.
Tak lama berlatih di taman, kegiatan inovatif tersebut kian disambut antusiasme tinggi masyarakat setempat.
Sampai saat ini, Taman Suropati Chamber telah diikuti 75 anggota dengan kemampuan musik yang beragam
"Semua orang boleh ikut serta, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bisa langsung bawa alat musiknya ke Taman Suropati," tuturnya.
Kegiatan berlatih dilakukan setiap hari Minggu mulai pukul 10.30 WIB.
Dengan biaya sebesar Rp200 ribu per bulan, anggota dapat belajar memainkan alat musik gesek dari tingkat awal hingga profesional.
Kelas dibagi menjadi empat kelompok, yakni bibit, akar, batang, dan dahan.
Selain memperoleh kesempatan belajar bermusik, anggota juga diberikan wadah untuk memamerkan kebolehannya melalui konser yang biasa digelar setiap tahun di berbagai lokasi.
"Biasanya kami menggelar konser di Gedung Kesenian Jakarta. Namun, tanggal 28 Oktober kemarin kami memilih konser di Taman Suropati sambil galang dana untuk korban bencana di Palu," ucap Ages.
Taman Suropati Chamber merupakan komunitas musik taman pertama di dunia. Gelar tersebut dinobatkan secara resmi oleh Museum Rekor Dunia Indonesia di tahun 2009.
Pada tahun 2008 lalu, Taman Suropati Chamber juga sempat 'berlaga' di Istana Negara.
"Banyak anggota kami yang sekarang sudah melanjutkan sekolah musik atau bahkan bekerja sebagai guru musik. Guru di Taman Suropati Chamber bahkan ada yang dulunya murid di sini," ungkap Ages.
Bersamaan dengan rekor yang diberikan kepada Taman Suropati Chamber, Ages memperoleh kesempatan studi banding ke Amerika Serikat dengan beasiswa Internasional Visitor Leadership Program (ILVP).
Melalui beasiswa tersebut, Ages berkunjung ke New Orleans, salah satu kota di Amerika Serikat yang terkenal akan komunitas musisi jalanan.
"Pemusik jalanan di New Orleans dapat bermain musik di tepi jalan dan memperoleh penghasilan dari talentanya," tutur Ages.
"Melihat beberapa lokasi di Jakarta, sebenarnya kita bisa seperti itu. Jika dipelihara dengan baik dan didukung sistem yang memadai, lokasi seperti Pasar Baru dan Kota Tua bisa dijadikan ladang bagi musisi jalanan yang berbakat."
(fey/agr)
http://bit.ly/2GLdwpL
December 31, 2018 at 01:21AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2GLdwpL
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment