
Sedangkan sisanya mulai dari Sumatera, Aceh, Nias, Mentawai, Bengkulu, Lampung, Jawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTB), hingga ke wilayah Indonesia Timur disebut pulau rawan tsunami.
"Pokoknya hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Kalimantan," kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono di kantornya kawasan Kemayoran, Jakarta qPusat, Senin (24/12).
Namun, ia menilai kondisi tersebut tidak membuat pihak-pihak terkait lebih awas dalam menata kawasannya, terutama di daerah pesisir. Pembangunan di kawasan pesisir terus dilakukan, meski wilayah tersebut masuk dalam zona merah.
Rahmat mencontohkan daerah yang dulu hancur akibat gulungan ombak tsunami di Aceh pada 2004, sekarang malah dibangun lagi.
"Harusnya daerah terdampak menjadi daerah hijau, tapi sekarang dibangun juga. Sekarang aman, tapi sebetulnya mereka menyiapkan generasi berikutnya jadi korban. Karena apa, sudah jelas di mana gempa bumi sifatnya perulangan. Sekarang tidak terjadi, tapi nanti bisa saja terjadi lagi," ucapnya.
Untuk itu, menurut dia, seharusnya pejabat setempat melarang pembangunan di daerah yang dinilai rawan.
Sementara itu Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengungkapkan pihaknya sebenarnya sudah membuat peta khusus yang berisi daerah-daerah rawan tsunami.
"Di Indonesia zona yang rawan tsunami petanya sudah dirilis BMKG tahun 2001, itu zona merahnya sudah ada, termasuk Palu, Lombok, sampai Selat Sunda juga," kata Dwikorita.
Peta itu sebenarnya, menurut dia, bisa digunakan para pejabat daerah terkait untuk menata wilayahnya, terutama dalam membangun kawasan pesisir. Peta zona merah BMKG juga sejalan dengan peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
KKP diketahui telah mempunyai aturan tentang Tata Cara Penghitungan Batas Sempadan Pantai yang tertuang pada Peraturan Menteri KKP Nomor 21/ Permen-KP tahun 2018.
Aturan ini dibuat agar pembangunan di wilayah pesisir lebih diperhatikan, atau mengikuti hitung-hitungan sempadan. Pada Pasal 1 tertulis bahwa sempadan adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Sedangkan Pasal 3 berbunyi, batas sempadan pantai dihitung berdasarkan tingkat risiko bencana, antaranya seperti gempa, tsunami, badai, erosi atau abrasi, dan banjir dari laut.
"Diharapkan peta itu bisa diintegrasikan dalam tata ruang sehingga kalau membangun atau zona pengembangan tentunya mengikuti sempadan pantai yang dikeluarkan KKP. Jadi ini penting. Persoalannya dipatuhi atau tidak," kata Dwikorita.
Deputi Bidang Infrastruktur Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Ridwan Jamaludin menambahkan pada dasarnya daerah yang langsung berhadapan dengan pantai tidak boleh dijadikan bangunan permanen.
"Daerah yang langsung berhadapan pantai sebaiknya tidak digunakan untuk infrastruktur permanen. Boleh digunakan untuk yang tidak permanen, seperti toko, jalan-jalan, berjemur, dan sebagainya," kata Ridwan. (ryh/agi)
http://bit.ly/2ResRTP
December 25, 2018 at 06:40AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2ResRTP
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment