Ia berkata ada sejumlah instansi yang memiliki sirene di kawasan tersebut.
"Sirene itu ada dari beberapa macam. Dari kita dan instansi lain. Itu harus dibedakan," ujar Tiar di Kantor BMKG, Jakarta, Minggu (23/12).
Tiar mengatakan BMKG hanya memiliki tiga sirene yang ditempatkan di tiga wilayah berbeda di Banten, yakni di Labuan, Pasauran, dan Panimbang. Ketiga sirene itu, klaim dia, sama sekali tidak diaktifkan oleh BMKG.
Ia mengatakan bukti bahwa ketiga sirene tersebut tidak diaktifkan terbaca dari log sirene yang dimiliki oleh BMKG.
"Sirene yang di kami, Labuan, Pasauran, Panimbang itu tidak diaktifkan. Jadi kalau tadi ada bunyi sirene harus dipastikan dahulu itu sirene punya BMKG atau sirene, namanya sama sirene tapi (pemiliknya) beda," ujarnya.
Lebih lanjut, Tiar menjelaskan sirene milik BMKG berbeda dengan sirene milik instansi lain. Sirene milik BMKG berbunyi statis dan dapat menjangkau dua kilometer. Prosedur aktivasi sirene BMKG, kata dia, juga tidak bisa dilakukan sembarangan, seperti hanya dengan menekan tombol.
"Itu bisa kita remote atau pada saat manual pun ada beberapa tahapan sehingga sirene itu bisa nyala. Itu dalam rangka secure, tidak sembarangan orang mengaktifkan sirene yang kita punya," ujar Tiar.
Namun, ia kembali mengatakan bunyi dan jangkauan sirene berbeda-beda.
"Ada beberapa lembaga complement, contoh di Padang mereka mengadakan sirene menggunkan toa. Ini dalam rangka juga mempermudah warning terhadap masyarakat. Tapi mungkin bunyi toa akan beda, radiusnya juga akan beda. Nah ini yang harus juga dipahami," ujarnya.
"Kecuali kalau memang dalam hal ini misalnya tiba-tiba ada tsunami atau air naik yang diakibatkan bukan oleh gempa bumi ya karena kami tidak memberikan warning misalnya ada di pemerintah daerah sirenenya kemudian melihat sendiri bisa saja," ujar Rahmat.
(jps/dea)
http://bit.ly/2PXFbDx
December 24, 2018 at 01:25AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2PXFbDx
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment