Thursday, December 13, 2018

Bawa Jagung Dapat Ikan di Pasar Barter Togoville

Jakarta, CNN Indonesia -- Alohou Papa berdiri di tengah pasar yang ramai di Togoville dan meniup keras sebuah peluit berwarna merah terang untuk menarik perhatian semua orang.

"Sekarang jam sembilan! Kepala desa mengirim saya untuk mengumumkan bahwa barter dapat dimulai!" teriaknya. "Dimohon tidak berdebat dan tidak melakukan provokasi!" katanya lagi.

Setiap hari Sabtu di pantai utara Danau Togo, sekitar 65 kilometer dari timur ibu kota, Lome, berlangsung tradisi pasar barter di Togoville.

Nelayan dan petani menjajakan hasil bumi mereka, namun sama sekali tidak ada pertukaran uang.

Di Togossime--yang berarti Pasar Togo dalam bahasa Ewe, segala macam barang dapat ditukar. Biji-bijian, ayam, ikan dan hasil laut lainnya merupakan barang yang paling populer.

"Togoville adalah desa tradisional," jelas Simon Tovor, penasihat khusus kepala daerah Raja Mlapa VI.

"Di masa lalu, orang tua kami hidup dari hasil tanah dan laut. Mereka melakukan tradisi barter yang berujung pada silaturahmi," kata Tovor.

"Kami ingin melestarikan tradisi ini, sehingga sejarah cara hidup nenek moyang kami bisa ditiru oleh anak cucu kami."

Terjebak dalam waktu

Dalam banyak hal, Togoville--bekas ibukota Togo, tampaknya terjebak dalam waktu, karena geliat kehidupan masyarakatnya baru terasa saat musim memancing dan musim panen tiba.

Di sinilah pada tahun 1884 raja Mlapa III dari Togoville menandatangani perjanjian untuk menjadi protektorat Jerman, jauh sebelum Togo menjadi koloni Perancis.

Untuk mengunjungi Togoville tersedia alat transportasi sederhana berupa kano kayu, yang lebih sering digunakan daripada jalur darat melalui jalan berlubang dari Lome.

Desa yang dihuni sekitar 10 ribu jiwa ini dikenal sebagai pusat voodoo, menarik banyak pendatang untuk mempelajari ilmu tersebut.

Patung dan kuil kecil dari kayu terlihat di setiap sudut. Perawan Maria juga disebut terlihat berjalan di danau pada tahun 1970-an, sehingga paus Yohanes Paulus II sempat mengunjungi desa ini pada tahun 1985.

Di pasar, sebagian besar barter dilakukan di tempat terbuka di bawah sinar matahari yang menyengat. Sejumlah lapak yang berbentuk bangunan hanya dinaungi lempengan kayu atau besi seadanya.

Sebagian besar penjaja menggelar barang-barangnya di tanah kering berwarna cokelat. Para wanita dengan ikat kepala warna-warni terlihat hilir mudik sambil membawa bakul di atas kepalanya.

Atsupi Fiodjio, warga desa seberang, telah datang ke pasar sejak 25 tahun yang lalu. Barang yang ia jajakan berupa ikan asap.

"Saya datang setiap Sabtu dengan dua atau tiga keranjang besar ikan asap dan saya pulang ke rumah dengan setidaknya tiga karung jagung, kacang polong dan kacang polong," kata Fiodjio.

"Saya menjualnya kembali di pasar kami, di mana biji-bijian sangat laris, karena sebagian besar masyarakat di desa saya ialah nelayan. Kami tidak bercocok tanam," lanjutnya.

Jeannette Tenge, penjaja lainnya, terlihat berteriak mengajak orang yang datang melihat ikan yang dijajakannya.

Ia tak segan berteriak bahwa ikannya berkualitas terbaik.

"Saya hanya menerima biji-bijian, terutama jagung dan beras, dan juga tepung beras dan singkong. Pulang dari sini saya bisa membawa pulang stok makanan untuk keluarga selama satu minggu," tambahnya.

"Pada hari-hari lain saya menjual roti di sekolah dekat desa," katanya.

Kemiskinan dan kebutuhan

Pasar barter Togoville adalah salah satu dari segelintir pasar serupa yang masih bertahan di Togo.

Bukan cuma karena kebutuhan, mereka juga melakukannya karena terlilit dengan kemiskinan.

Sekitar setengah dari hampir 8 juta penduduk Togo hidup di bawah garis kemiskinan dan sering mengeluh tentang kenaikan harga bahan makanan.

Beberapa dari mereka mengaku tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

"Saya meninggalkan rumah dengan beberapa jagung dan bubuk garri agar bisa ditukar dengan beberapa ikan," kata Adole, seorang pelajar.

"Saya tidak sering datang ke sini. Saya hanya ke sini jika saya merasa lapar."

Enyoname mengatakan dia menjajakan hewan unggasnya untuk ditukar jagung dan garri. "Saya harus melakukannya karena saya kesulitan menjualnya," katanya.

Tovor mengatakan sistem barter memang praktis, memungkinkan barang laku dengan cepat dibandingkan dengan menjualnya.

"Mereka tidak ingin mengambil resiko barang tidak laku, oleh karena itu mereka melakukan barter. Dengan begitu barang-barang juga masih dalam kondisi segar," tambahnya.

(ard)

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2UGSfAE
December 14, 2018 at 12:44AM from CNN Indonesia https://ift.tt/2UGSfAE
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment