Saturday, December 1, 2018

Dari 'Negara Ganja' ke Negara Senja

Rabat, CNN Indonesia -- Lega, ialah satu kata yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaan saya atas keputusan pindah ke Rabat, Maroko. Gaya hidup di Negeri Matahari Tenggelam yang santai dan ramah bisa dibilang sukses memikat hati saya.

Sebelum merantau ke Maroko pada Oktober lalu, saya sempat menetap di Belanda selama enam tahun. Pekerjaan saya sebagai konsultan riset dan advokasi di beberapa lembaga non-profit di Indonesia dan Belanda membuat saya harus bermukim di kawasan Den Haag.

Kehidupan saya di Belanda seharusnya nyaman-nyaman saja. Terlebih lagi dengan suasana dan pemandangan kota yang begitu indah.

Seperti orang Indonesia pada umumnya, ketika menginjakkan kaki di negara-negara Eropa, saya langsung terpana dengan suasana bak film-film barat, fasilitas yang begitu memadai dan segarnya udara bersih yang tak ternoda polusi.

Namun terlepas dari kenyamanan tersebut, saya sempat mengalami isu psikologis alias sedikit stres dan depresi menghadapi hidup di Negara Kincir Angin itu.

Masalah pertama yang kian menekan pikiran saya berkutat seputar biaya hidup yang cukup mahal. Padahal kalau dipikir-pikir Den Haag bukan ibu kota negara, meskipun menjadi rumah berdirinya kursi parlemen dan pemerintahan Belanda.

Selama menetap di sana saya harus merelakan kegiatan pelepas lelah seperti pergi ke salon, sesekali berbelanja atau sekedar ngopi-ngopi di kafe kekinian. Pasalnya untuk kebutuhan utama sana biaya yang dituntut sudah sangat mahal sehingga saya harus sangat berhemat.

Menyusul faktor ekonomi yang terus membuat kepala pusing, kebijakan imigrasi yang semakin ketat dan ekstremnya cuaca di musim dingin juga membuat saya selalu suntuk di sana.

Alhasil ketika dapat kesempatan pindah untuk menetap dan bekerja di Maroko, saya dan suami langsung bergegas mengemas barang-barang.

Ketika pindahan, saya, suami bersama anjing kesayangan nekat saja menumpang mobil dan mengemudi sendiri dari Belanda sampai Maroko.

Meski cukup melelahkan, cantiknya pemandangan di sepanjang jalan dan pengalaman menjelajahi Perancis, Spanyol dan Selat Gibraltar sampai ke Maroko bisa membayar lunas pegal-pegal di badan.

Sesampainya di perbatasan memasuki area Maroko, saya siap mengatakan 'selamat tinggal' kepada Belanda.

Dari 'Negara Ganja' ke Negara SenjaPenulis saat berada di Rabat, Maroko. (Dok. Dania Putri)

Walaupun hati riang meninggalkannya, sebenarnya ada banyak hal menarik di Belanda yang akan terus menetap dalam memori saya. Seperti terkait pekerjaan saya mengenai kebijakan narkotika di sana.

Banyak orang yang memandang Belanda sebagai negara bebas produksi, penjualan dan konsumsi ganja. Apalagi mendengar kabar bahwa ganja bahkan bisa dibeli di kafe-kafe atau yang disebut coffeshop oleh penduduk.

Pembelian ganja di coffeshop ini hanya diperbolehkan untuk pembeli berumur 18 tahun ke atas. Dalam satu transaksi, pembeli hanya dapat membeli maksimal 5 gram ganja.

Banyak turis yang datang ke Belanda dengan tujuan utama mencicipi langsung budaya coffeshop ganja yang unik ini.

Bagi saya pribadi, sistem coffeshop ganja di Belanda cukup akomodatif bagi pengguna ganja. Dengan begini, pengguna jadi bisa mengetahui jenis-jenis ganja yang tersedia sekaligus informasi terkait perihal kesehatan maupun cara pemakaian yang baik dan benar.

Melihat kemudahan mendapatkan ganja, tak banyak yang tahu bahwa sebenarnya ganja tak 100 persen legal di Belanda.

Sebenarnya aturan produksi dan penjualan diatur sangat ketat. Orang yang menanam dan menjual butuh mengantungi surat izin resmi dari pemerintah Belanda.

Oleh karena itu setiap tahunnya polisi Belanda masih sering menangkapi petani dan penjual ganja tak berizin.

Namun terlepas dari itu konsumsi ganja di Belanda pada umumnya telah didekriminalisasi, sehingga memudahkan penduduk yang membutuhkannya, terutama untuk pengobatan, bisa mengakses informasi maupun layanan kesehatan tanpa harus takut melanggar hukum.

---

Surat dari Rantau adalah rubrik terbaru di CNNIndonesia.com. Rubrik ini berupa "curahan hati" dari WNI yang sedang menetap di luar negeri. Bisa mengenai kisah keseharian, pengalaman wisata, sampai pandangan atas isu sosial yang sedang terjadi di negara yang ditinggali. Jika Anda ingin mengirimkan cerita, sila hubungi surel berikut: ardita@cnnindonesia.com, ike.agestu@cnnindonesia.com, vetricia.wizach@cnnindonesia.com.

(fey/ard)

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2RsgiRL
December 02, 2018 at 07:48PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2RsgiRL
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment