Ia menyatakan hal ini sebagai respons kemunculan kasus jual beli blangko e-KTP di situs online dan Pasar Pramuka Jakarta.
"Harus ada audit terhadap proses pembuatan e-KTP dan ekspose terbuka dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atas kasus ini. Jika tidak, Kemendagri bisa dianggap gagal mengamankan data kependudukan," ujar Fadli dalam rentetan cuitan di akun Twitter resminya @fadlizon, Sabtu (8/12).
Fadli juga menyebut kasus jual beli blangko e-KTP dan kasus 31 juta pemilih yang belum masuk dalam Daftar Pemlih Tetap (DPT) dapat membuat kredibilitas penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 menghadapi tantangan besar.
Fadli mengingatkan, berbeda dari pemilu sebelumnya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemilu menetapkan bahwa e-KTP menjadi syarat sah bagi pemilih sehingga isu e-KTP bisa menjadi bola panas.
"Syarat ini (e-KTP sebagai syarat sah pemilih) bagus jika administrasi kependudukan kita terjaga ketat. Namun sebagaimana bisa kita lihat, administrasi Kemendagri cukup buruk menangani hal ini," ujarnya.
Fadli mengungkapkan kasus jual beli blangko e-KTP bukan kasus pertama yg menunjukkan keburukan standar kerja Kemendagri terkait proses perekaman data, pendistribusian, dan pengawasan pencetakan e-KTP.
Pada Mei lalu, misalnya, ada kasus temuan ribuan e-KTP tercecer di Bogor. Sebelumnya, pada 18 Maret 2017, di tempat sampah bekas Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kab Gowa, Sulawesi Selatan, juga pernah ditemukan kasus serupa.
Tak ayal, Fadli menilai Kemendagri tak punya prosedur ketat dan terkontrol menjaga seluruh lini terkait proses pembuatan e-KTP meski berpotensi diselewengkan. Di bank saja, misalnya, pihak bank langsung menggunting ATM yang rusak karena rentan disalah-gunakan.
"Ini bagaimana bisa blanko e-KTP keluar tanpa terdeteksi secara internal? Mengingat e-KTP merupakan instrumen penting dalam penggunaan hak pilih, Kemendagri seharusnya tak boleh bekerja amatiran. Apalagi 'raw material' data pemilih kan asalnya memang dari Kemendagri," ujarnya.
Pada Desember 2017 lalu, Kemendagri menetapkan total Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu untuk Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019 berjumlah 196.545.636.
Dari daftar itu, sejak Agustus lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa kali kali menetapkan Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan merevisinya.
Pada akhir September 2018, sesudah proses koreksi, data pemilih dalam negeri ditetapkan sebanyak 185.084.629 pemilih. Sementara, jumlah TPS sebanyak 805.068 dan pemilih luar negeri ditetapkan 2.025.344 pemilih. Ini menjadi DPT Hasil Perbaikan Tahap 1.
Sejak Pleno KPU tgl 5 Sept 2018, hingga perbaikan tahap 1 tadi, Gerindra bersama dengan beberapa parta partai koalisi mengajukan penolakan penetapan DPT karena ada sekitar 25 juta data ganda dalam DPS yang ditemukan.
Awal Oktober lalu Kemendagri juga memberikan catatan ada 31 juta orang yang sudah melakukan perekaman e-KTP tapi belum masuk dalam DPT.
"Padahal, menurut Kemendagri, angka 31 juta yg disebut itu sudah masuk dalam DP4. Ini telah membuat proses penyusunan DPT menjadi meraba-raba lagi sehingga hingga kini DPT belum ditetapkan," ujar Fadli.
Respons Kemendagri
Dihubungi terpisah, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh menerima ucapan Fadli.
"Tidak apa Mas Fadli menyoroti. Itu hak semua warga negara," ujar Zudan kepada cnnindonesia.com.
Zudan mengungkapkan kasus jual beli blangko e-KTP di toko daring Tokopedia telah diselesaikan pekan ini dan pelakunya telah dilaporkan ke kepolisian.
Berdasarkan penelusuran dengan melibatkan data dari Tokopedia, penjual blangko e-KTP bernama Nur Ishadi yang mengaku jual 10 keping blangko. Blangko kosong itu diambil dari ruangan ayahnya yang merupakan mantan Kepala Dinas Dukcapil Kabupaten Tulang Bawang.
"Dari kejadian ini, dapat disimpulkan tidak ada sistem yang jebol di Dukcapil," ujar Zudan.
Zudan juga mengingatkan kegiatan menawarkan dan menjualbelikan blanko dokumen negara merupakan tindak kejahatan yang harus ditanggulangi bersama-sama.
"Tokopedia kami perintahkan untuk menurunkan penawaran tersebut dan sudah dilakukan kemarin Rabu, 6 Desember 2018," ujarnya.
Sebagai catatan, sesuai Pasal 96A UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, setiap orang atau badan hukum yang tanpa hal mencetak, menerbitkan, dan/atau mendistribusikan Dokumen Kependudukan dipidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar. (sfr/vws)
https://ift.tt/2BWMsj4
December 08, 2018 at 09:59PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2BWMsj4
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment