Sunday, November 18, 2018

Dongeng untuk Melawan Pengaruh Gawai pada Anak-Anak

Jakarta, CNN Indonesia -- "Man juluk man..." demikian kalimat yang diucapkan orang tua di Nusa Tenggara Barat (NTB) ketika memanggil anak-anak untuk berkumpul dan mendengarkan cerita.

Serentak, anak-anak akan datang untuk duduk berkumpul seraya menyahut, "Man..." sebagai tanda bahwa mereka siap mendengarkan dongeng yang akan disampaikan.

Namun seiring perkembangan zaman yang mempengaruhi polah dan tingkah masyarakat di dalamnya, mendongeng kini tak lagi jadi tradisi. Kondisi ini menggerakkan Herwan Husdiawan untuk membentuk komunitas Kerajaan Dongeng Indonesia pada 2009.

Ditemui di sela acara Festival Dongeng Internasional Indonesia 2018 bertajuk 'Cerite Sasak Mendunie' di Museum Negeri NTB, Sabtu (17/11), pria yang akrab disapa Wawan ini mengaku prihatin jika modernisasi justru membuat polah dan tingkah masyarakat jauh dari nilai-nilai sosial.

Dongeng bisa menjadi salah satu komunikasi antar generasi.Foto: CNN Indonesia/Fachri Fachrudin
Dongeng bisa menjadi salah satu komunikasi antar generasi.

Misalnya, ketika dirinya masih mengajar sebagai guru honorer. Kata Wawan, banyak anak-anak yang akrab dengan kata-kata yang bernada kasar atau kotor dalam berkomunikasi. Cara mereka bersikap terhadap guru juga semakin jauh dari norma kesopanan.

Selain itu, anak-anak kekinian juga lebih akrab dengan gawai daripada berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitarnya. Dampak paling terasa, ujar Wawan, terjadi kesenjangan antara orangtua dan anak-anak.

Polah tingkah laku seperti ini, menurut Wawan, perlu diantisipasi. Salah satunya, dengan kembali menggaungkan tradisi mendongeng kepada anak-anak. Karena dengan cara ini akan terjadi interaksi langsung sehingga kepekaan dan rasa sosial mereka kembali terasah.

"Sekarang gadget, TV menyerang sekali. Kami berharap dengan dongeng dan kegiatan seperti ini orang tua atau guru akan lebih dekat dengan anak-anaknya," tutur Wawan.

Selain itu, mendongeng juga sebagai upaya pemulihan psikologis anak-anak pasca gempa yang terjadi pada Agustus lalu. "Ini salah satu cara, terapi psikososial. Lebih dalam lagi dengan story theraphy, kita berikan trauma healing buat anak anak melalui cerita-cerita," kata Wawan.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua PKK NTB Niken Saptarini Widyawati Zulkieflimansyah berharap festival mendongeng bisa terus digelar dari tahun-ke tahun. Ini juga untuk mengedukasi orangtua agar tahu bagaimana cara mendongeng dan menanamkan nilai luhur kepada anak-anaknya.

Menurutnya, dongeng yang dibacakan kepada anak-anak sarana yang efektif untuk mentransfer nilai-nilai positif.

"Orang tua kami dulu menyampaikan kisah lama melalui cerita. Ketika enggak ada TV, internet, dongeng jadi saran yang bagus karena mudah diingat dan terjadi interaksi. Saat ini transfer nilai itu berkurang," kata istri dari Gubernur NTB Zulkieflimansyah tersebut.

Sementara itu, External Communication Officers For Early Life Nutrition and Medical Nutrition Danone Indonesia, Anindita Saraswati Dwiwinata mengatakan bahwa PT Nutricia Indonesia memiliki visi dan misi yang sama.

Karena itu, sudah beberapa tahun belakangan pihaknya berkerjasama dengan Komunitas Ayo Dongeng Indonesia untuk mengedukasi masyarakat tentang nutrisi. Tahun ini, Lombok menjadi targetnya.

"Nutricia memang punya kemauan khsusus untuk mengedukasi anak tentang nutrisi, karena kita tahu makanan yang dimakan anak sekarang enggak cuma berefek lusa. Tetapi juga untuk tahun mendatang dan ke masa depannya. Makanya kami edukasi anak juga ibunya," kata Dita.

Selain menjadi bagian pengisi acara di Festival Dongeng Internasional Indonesia 2018, pihaknya juga menyambangi salah satu wilayah terdampak gempa, yakni Dusun Jelateng Timur untuk menghibur dan mengedukasi anak-anak di sana.

Menurut perempuan yang akrab disapa Dita itu mendongeng merupakan cara yang unik dan efektif untuk mengedukasi. Karena pesan yang ingin disampaikan dilakukan dengan cara yang menyenangkan dan menarik perhatian anak-anak.

Secara terpisah, Communication Director Danone Indonesia Arif Mujahidin menyampaikan bahwa Prevalensi balita stunting menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 adalah 30,8 persen. Angka tersebut turun 6,4 persen dari Riskesdas 2013.

Namun demikian, masih diperlukan usaha berkelanjutan agar bisa mencapai target dari WHO sebesar 20 persen. "Sehingga, edukasi nutrisi yang diterapkan sejak dini diperlukan agar anak mudah memahami dan menerapkan pola hidup sehat," kata Arif melalui keterangan tertulisnya. (fhr/rea)

Let's block ads! (Why?)


https://ift.tt/2DrEi3n
November 18, 2018 at 10:26PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2DrEi3n
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment