"Mohon beri data yang selengkap-lengkapnya kepada OJK supaya kami bisa mengambil tindakan yang tegas dan bisa membangun industri fintech P2P lending yang sehat, kuat, dan bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan tidak menyakiti," ujar Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendarikus Pasagi usai bertemu dengan perwakilan LBH Jakarta di Gedung Wisma Mulia 2, Jumat (14/12).
Jumat (14/12) hari ini, OJK telah bertemu dengan perwakilan LBH Jakarta. Pertemuan tersebut dilakukan untuk menindaklanjuti pengaduan yang diterima LBH Jakarta dari 1.330 korban pinjaman fintech selama periode 4 hingga 25 November 2018.
"Kami ingin mendengar lebih dekat karena tujuan kami adalah melindungi konsumen. Konsumen di sini adalah peminjam, pemberi pinjaman, dan penyelenggara," ujarnya.
Dari 89 penyelenggara fintech P2P lending yang diduga melakukan pelanggaran proses penagihan utang, sebanyak 25 penyelenggara telah terdaftar di OJK. Namun, OJK tak menerima data rinci dan hanya memperoleh inisial dari 25 penyelenggara tersebut.
Dalam menindaklanjuti pengaduan, OJK harus melakukan verifikasi bukti terkait pengaduan yang dilaporkan korban. Salah satunya, bukti melakukan pinjaman dan bukti terjadi penagihan yang di luar etika.
"Begitu kami memiliki data lengkap, kami tidak ada keraguan untuk melakukan investigasi yang mendalam dan melakukan pencabutan tanda daftar apabila ada bukti yang secara sah dan meyakinkan," ujarnya.
Hendrikus menilai kegiatan fintech bisa saja ditunggangi oleh penyelenggara yang tidak bertanggung jawab sehingga merugikan konsumen. Untuk itu, OJK menerima masukan dari setiap organisasi masyarakat yang berkepentingan dalam rangka membangun industri fintech P2P lending yang lebih sehat.
"Prinsipnya adalah siapa yang bersalah harus mendapat tindakan yang tegas. Kalau ada fintech lending P2P yang memang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran, kami tidak ada keraguan untuk mencabut tanda terdaftarnya," ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Asosiasi Fintech Bersama Indonesia (AFPI) Sunu Widyatmoko juga menuntut LBH Jakarta membuka datanya secara terperinci agar asosiasi bisa membantu mencarikan jalan keluar bagi para korban.
"Saya sudah menunggu sejak LBH Jakarta berbicara ke media, satu bulan yang lalu, tetapi sampai hari ini tidak ada satu pun daftar yang disampaikan kepada kami," ujarnya.
Menurut Sunu, jika LBH Jakarta membagikan data pengaduan yang diterima, asosiasi bisa mendapatkan masukan untuk melakukan perbaikan dalam mengatur anggota yang terdaftar di OJK.
"Ini memberikan panggung kepada pihak-pihak tertentu untuk menjelek-jelekkan industri fintech yang secara de facto potensi pertumbuhannya baik, manfaat kepada masyarakat baik," ujarnya.
Di tempat yang sama, Pengacara Publik Yenny Silvia Sari Sirait selaku perwakilan LBH Jakarta mengungkapkan pihaknya belum bisa membagikan rincian data pengaduan korban. Pasalnya, LBH Jakarta harus meminta izin kepada korban mengingat pada formulir pengaduan pinjaman online LBH Jakarta menjanjikan data korban akan dirahasiakan.
"Kalau tidak (izin), sama seperti yang sudah dilakukan aplikasi pinjaman online yang menyebarkan data pribadi, kami pun bisa saja berpotensi melakukan penyebaran data pribadi," ujarnya.'
Yenny mengungkapkan para korban yang mengadu sebenarnya pernahmengadu kepada OJK. Namun, korban tidak mendapatkan penyelesaian.
"Perlu diketahui, yang menjawab pengaduan teman-teman korban adalah mesin penjawab. Itu yang pertama. Bahkan, kami punya bukti bahwa pengaduan yang diajukan oleh korban itu ditolak oleh OJK," ujarnya.
Lebih lanjut, Yenny menuntut perbaikan sistem dan mekanisme fintech P2P lending yang lebih baik. Jika tidak, korban layanan pinjam meminjam fintech akan semakin banyak seiring perkembangan industri. (sfr/lav)
https://ift.tt/2UPvt9U
December 14, 2018 at 10:52PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2UPvt9U
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment