
Bambang mengatakan Indonesia pernah disebut sebagai negara industri karena porsi manufaktur dalam PDB mencapai 30 persen. Namun, kontribusi industri tersebut kini kian menyusut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal III 2018 bahkan menunjukkan porsi industri manufaktur tercatat sebesar 19,66 persen terhadap PDB. Pertumbuhan industri manufaktur hanya 4,33 persen, atau lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi 5,17 persen.
"Indonesia belum berhasil reindustrialisasi, tapi yang terjadi adalah deindustrialisasi prematur. Dulu sempat kontribusi industri mencapai 30 persen terhadap PDB, tapi kini tercatat 20 persen saja meski memang porsinya masih paling besar," jelas Bambang, Kamis (22/11).
Lebih lanjut ia menuturkan, turunnya kontribusi industri manufaktur disebabkan karena booming harga komoditas yang terjadi usai krisis ekonomi tahun 1998 silam.
Sebelum krisis 1998, Indonesia sempat menjadi negara tujuan investasi manufaktur berbasis sumber daya manusia (labor intensive) karena upah buruh yang cenderung lebih murah. Namun, krisis ekonomi ternyata menyerang sektor manufaktur lantaran banyak yang memiliki utang dalam denominasi dolar AS.
Akhirnya, banyak pelaku usaha yang beralih untuk mengembangkan bisnis di sektor komoditas, utamanya minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara. Permasalahannya, pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh komoditas tidak sinambung. Sebab, industri berbasis komoditas sangat tergantung dengan harga dunia.
"Makanya Indonesia pernah punya ekonomi bagus karena harga komoditas lagi booming. Tapi begitu harganya turun, ya pertumbuhan ekonomi ikut melesu. Padahal, harga-harga yang stabil adalah harga manufaktur, bukan harga komoditas," imbuh dia.
Saat ini, menurut dia, industrialisasi dibutuhkan agar Indonesia bisa segera terlepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap). Pertumbuhan ekonomi yang hanya berada di kisaran 5,1 persen per tahun, menurut Bambang, baru akan membuat Indonesia masuk dalam kategori negara berpendapatan tinggi pada 2040 mendatang.
"Dan memang di hitungan kami, pertumbuhan ekonomi potensial sejauh ini adalah 5,3 persen. Dengan angka sejauh ini, artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan tidak mencapai titik potensialnya. Kuncinya memang dua, industrialisasi dan juga jasa modern," pungkas dia.
Data BPS pada kuartal III 2018 menunjukkan industri pengolahan yang tumbuh 4,33 persen terutama didorong pertumbuhan industri nonmigas sebesar 5,01 persen. Dari seluruh sektor industri nonmigas, industri tekstil dan pakaian jadi memimpin pertumbuhan dengan angka 10,17 persen.
Sementara industri batu bara dan pengilangan migas mengalami pelemahan dan hanya tumbuh 1,63 persen.
(glh/agi)
https://ift.tt/2R3YDzM
November 22, 2018 at 05:57PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2R3YDzM
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment