Direktur Pusat Studi Konstitusi Feri Amsari mengatakan putusan MK bersifat mengikat meski MA mengeluarkan putusan pengurus partai bisa mencalonkan diri menjadi anggota DPD.
"Sifat putusan Mahkamah Konstitusi itu final dan mengikat. Mau diubah atau tidak diubah Undang-Undang dengan sendirinya putusan itu mengikat," ujar Feri dalam diskusi di bertema 'Sikap KPU dan Potensi Gangguan Pemilu Paska benturan Putusan MK dan MA Serta PTUN Dalam Pencalonan Anggota DPD', di Warunk Upnormal, Jakarta, Minggu (18/11).
Feri menilai MA terkesan agak ajaib saat mengeluarkan putusan mengizinkan pengurus paprol sebagai caleg DPD. MA, kata dia, seakan-akan tidak memahami sifat putusan MK yang final dan mengikat.
Sebab, ia melihat dalam putusannya MA mengatakan putusan MK tidak dapat diberlaku karena belum diundangkan. Feri mengatakan sifat putusan MK yang mengikat diatur dalam pasal 24 huruf c UUD 1945 dan pasal 10 UU MK.
Atas dua aturan itu, ia menilai putusan MA tidak berlaku. "Kami bertanya kepada MA, apakah tidak salah memahami putusan MK?," ujarnya.
Di sisi lain, ia juga menyinggung putusan PTUN yang meminta KPU membatalkan surat keputusan KPU dan meminta pembatalan pengurus parpol sebagai DCT DPD di Pileg 2019. Selain bertentangan dengan Putusan MK, putusan itu juga bertentangan dengan semangat pembentukan UUD 1945 dan UU Pemilu yang sudah ditafsirkan oleh MK.
"Jadi putusan PTUN yang memaksa seseorang masuk itu agar dimasukan ke dalam list (DCT DPD) bertentangan dengan UUD, UU Pemilu, dan putusan MK," ujar Feri.
Lebih lanjut, Feri menuturkan adanya pengurus parpol menjadi caleg DPD disebabkan oleh ketidakpuasan parpol menguasai cabang-cabang kekuasaan negara. Ia melihat parpol menginginkan cabang kekuasaan negara hanya diisi oleh unsur parpol.
"Termasuk juga sebenarnya ruang-ruang kekuasaan kehakiman yang minimal dia bisa menentukan pilihan siapa yang menjadi hakim," ujarnya.
Feri menyebut ketidakpuasan parpol itu terbukti lewat keberadaan 70 persen anggota DPD yang menjadi pengurus atau berafiliasi dengan parpol. Hal itu mengakibatkan parpol semakin mendominasi parlemen.
Dominasi parpol itu sejatinya sudah mulai dibenahi semenjak UU 1945 diamandemen. Ia berkata amandeman UUD 1945 memiliki tujuan, salah satunya mewujudkan dua lembaga representasi, yakni DPR dan DPD.
Ia mengatakan DPR dibentuk untuk merepresentasi ideologi. Sementara DPD dibentuk untuk merepresentasi nilai kedaerahan.
Keberadaan DPD, kata dia, untuk menyeimbangkan dominasi parpol di DPR. "Karena dominasi parpol sudah ada di DPR, gagasannya kemudian DPD itu betul-betul menjadi representasi individu yang berasal dari daerah. Itu sebabnya ada perbedaan antara DPR dan DPD," ujar Feri.
Putusan MK dan PKPU Tak Hilangkan Hak Seseorang
Feri menegaskan Peraturan KPU Nomor 26 tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD tidak melanggar Hak Asasi Manusia yang melarang pengurus parpol menjadi caleg DPD tidak menghilangkan hak seseorang.
Sebab, ia menyebut KPU memberi kesempatan bagi pengurus parpol yang sudah mendaftar sebagai caleg DPD untuk mengundurkan diri dari parpol agar pencalonannya tetap dilanjutkan.
"Putusan MK dan PKPU itu tidak menghilangkan hak seseorang untuk menjadi calon anggota DPD kalau dia sudah menjadi calon. Dia hanya diberi kesempatan untuk mengundurkan diri agar kemudian esensi dari pembentukan lembaga DPD itu bisa terwujud," ujar Feri.
Oleh karena itu, terkait dengan tudingan Ketua DPD sekaligus Ketum Hanura Oesman Sapta Odang yang menilai Putusan MK dan PKPU bertentangan dengan UU Pemilu, Feri mengaku tidak sepakat. Ia menilai Oso yang terdaftar sebagai caleg DPD justru menentang gagasan perubahan UUD 1945.
Lebih dari itu, ia berkata KPU menentang UU Pemilu, Putusan MK, serta UUD 1945 jika menuruti Putusan MA dan PTUN.
(panji/agt)https://ift.tt/2Fr8CO8
November 18, 2018 at 10:58PM from CNN Indonesia https://ift.tt/2Fr8CO8
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment