Monday, January 7, 2019

Perlawanan Satire Politik 'Dildo' ala Nurhadi-Aldo

CNN Indonesia | Senin, 07/01/2019 16:16 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Pasangan capres-cawapres fiktif Nurhadi-Aldo alias Dildo ibarat oase yang muncul di tengah gersangnya gelaran kampanye pemilihan presiden tahun 2019 yang dimonopoli oleh isu pemberitaan seputar pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Dildo hanyalah rekaan warganet di media sosial. Namun mereka hadir untuk mencairkan kejengahan masyarakat atas eksploitasi isu politik Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi.

Meski tidak nyata, pasangan Dildo ramai diperbincangkan di medsos saat Pilpres 2019 memasuki musim kampanye ini. Layaknya capres-cawapres yang akan berlaga di Pemilu, pasangan Dildo pun turut melengkapi 'konstestasi' mereka dengan poster, akun media sosial, hingga koalisi parpol pendukung.

Dengan mengusung slogan 'MyQueenYaQueen' atau yang dibaca 'Makin Yakin', mereka diusung oleh 'Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol Maha Asyik'.

Untuk poster, foto Nurhadi dan Aldo tampil dengan pakaian kokok merah putih serta mengenakan peci hitam. Di dalam poster terdapat juga ada nama mereka dan nama koalisi pendukung.

Antusiasime warganet terhadap pasangan ini juga terlihat ketika akun instagram mereka diikuti lebih dari 238.000 pengikut dan 50.000 pengikut di Twitter. Angka itu bahkan telah mengalahkan pengikut beberapa parpol nasional Indonesia di media sosial Instagram.
[Gambas:Instagram]


Uniknya lagi, foto dan berbagai macam meme Nurhadi-Aldo juga telah dibagikan berulang kali di media sosial. Sebagian besar postingannya di media sosial mendapat reaksi meriah dan dibanjiri ratusan komentar dari warganet.

Salah satu meme yang tersebar adalah poster mereka berdua disertai kutipan dari Nurhadi, 'Kalau orang lain bisa. Mengapa harus kita?'.

Fenomena 'meme' Nurhadi-Aldo di media sosial ibarat bentuk satire politik yang mewarnai Pilpres 2019. Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati menilai satire politik itu telah sengaja dimunculkan sebagai bentuk sindiran dari masyarakat karena mulai bosan dengan gelaran Pilpres kali ini

"Nurhadi-Aldo hadir karena masyarakat bosan dan jengah dari tiadanya calon alternatif selain Prabowo dan Jokowi. Sehingga memicu pertarungan Cebong dan Kampret," kata Wasis saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (7/1).
[Gambas:Instagram]
Wasis menyebut satire politik biasa digunakan untuk mengkap sebuah ironi atau tragedi nyata yang dibungkus dalam sebuah komedi sehingga sifatnya parodi.

Kehadiran 'Dildo' sebagai satire politik tak ubahnya sebagai bentuk upaya masyarakat melawan label 'cebong-kampret' yang marak di Pilpres kali ini.

Label 'cebong' selama ini kerap ditujukan bagi para pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin. Sedangkan label 'kampret' diidentikkan untuk pendukung Prabowo-Sandiaga.

Masyarakat kini membentuk perlawanan kolektif untuk keluar dari dikotomi itu dengan menghadirkan humor politik ala Nurhadi-Aldo sebagai paslon alternatif fiktif.

"Publik tidak ingin terlabelisasi sebagai cebong dan kampret dalam ruang publik, sehingga munculnya Dildo ini sebagai bentuk hiburan politik mereka," kata Alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
[Gambas:Instagram]

Wasis menyebut fenomena satire politik seperti paslon Nurhadi-Aldo bukan terjadi kali ini saja. Di dunia pertelevisian, Warkop DKI dan Sentilan Sentilun menjadi contoh kelompok lawak yang memiliki humor satire politik.

Tak hanya itu, kartun Oom Pasikom karangan GM Sudarta yang biasa hadir di Harian Kompas turut hadir menyentil soal ironi kehidupan perpolitikan tanah air.

"Hanya saja dulu kan aktornya itu didominasi seniman dan kritik humornya tidak langsung. Sekarang kan anak-anak milenial yang anonim namun peka soal politik," kata dia.

Di sisi lain, Wasis turut menilai kehadiran 'Dildo' di media sosial sebagai upaya untuk menurunkan tensi politik yang panas di level elite dan masyarakat di Pilpres 2019 kali ini.

Ia mengatakan 'Dildo' hadir sebagai oase di tengah masyarakat yang mulai terbelah akibat isu identitas bernuansa suku, agama, ras, dan antargolongan yang mulai marak sejak Pilpres 2014 lalu.

"Itu bagian dari upaya menurunkan tensi politik yang panas di level elite dan masyarakat sejak [Pemilu] 2014 lalu. Kita terlalu serius soal urusan politik sampai akar rumput namun alpa sisi kemanusiaannya," kata dia.

Berlanjut ke halaman berikutnya... (rzr/gil)

1 dari 2

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2C46Uxq
January 07, 2019 at 11:16PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2C46Uxq
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment