Di sisi lain, Partai Golkar potensial mencetak rekor baru dengan keluar dari posisi dua besar untuk pertama kalinya.
Peneliti LSI Denny JA, Ardian Sopa, menyebut 'kutukan' itu disebut sebut telah ada sejak pemilu 1999. Bentuknya, tidak pernah ada juara bertahan alias dua kali berturut-turut dalam pileg. Contohnya, pada pemilu 1999 PDIP menjadi pemenang pemilu, tetapi kalah dari Golkar pada pemilu 2004.
Sedangkan pada pemilu 2009 Partai Demokrat menjadi pemenang pemilu, dan PDIP kembali menjadi pemenang pada pemilu 2014."Pemilu pasca reformasi tidak ada parpol juara terus menerus atau juara bertahan, 'kutukan' juara karena memang tidak ada juara bertahan," ujar Ardian, di kantornya, Jakarta Timur, Selasa (8/1).
"Sehingga kalau misalnya prediksi kita PDIP juara di 2019 mendatang, ini jadi sebuah torehan buat PDIP karena berhasil mempertahankan status sebagai juara," ia menambahkan.
Peluncuran atribut dan slogan kampanye di Kantor DPP PDI-Perjuangan, Jakarta, 20 September 2018. (CNN Indonesia/Safir Makki)
|
"Jika PDIP menang kembali setelah reformasi dia mencetak sejarah hattrick karena tiga kali menang pemilu," tuturnya.
Ardian mengatakan keyakinannya akan kemenangan PDIP di Pileg 2019 karena dua alasan. Pertama, empat kali survei memperlihatkan bahwa posisi PDIP tetap di nomor satu. Kedua, selisih dengan partai saingan di bawahnya mencapai lebih dari 10 persen.
Hal itu dikatakannya berdasarkan survei pihaknya sejak Agustus hingga Desember 2018. Survei tersebut dilakukan setiap bulan di 34 provinsi dengan menggunakan 1200 responden. Metode yang digunakan dengan metode multistage random sampling.Sementara, margin of error setiap survei kurang lebih 2,9 persen. Selain itu survei juga dilengkapi dengan penelitian kualitatif metode analisis media, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan wawancara mendalam.
"LSI merangking dari bulan Agustus sampai Desember terdapat lima partai terbesar. Big five ada PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, kemudian ada Partai Demokrat," tuturnya.
Logo Partai Gerindra. (Adhi Wicaksono)
|
Sedangkan Gerindra yang ada di posisi dua hanya memperoleh suara 13,1 persen pada Agustus, 11,5 persen pada September, 11,3 persen pada Oktober, 14,2 persen pada November dan 12,9 persen pada Desember.
Sementara itu, Partai Golkar memperoleh 11,3 persen pada Agustus; 10,6 persen pada September; 6,8 persen pada Oktober; 9,7 persen pada November; dan 10 persen pada Desember.
Untuk PKB, hasil survei menyebut raihannya mencapai 6,7 persen pada Agustus; 5,4 persen pada September; 6,3 persen Oktober; 6,2 persen pada November; dan 6,9 persen pada Desember.Kemudian untuk Partai Demokrat memperoleh 5,2 persen di Agustus; 3,7 persen di September; 3,4 persen di Oktober; 4,1 persen di November; dan 3,3 persen di Desember.
Golkar Cetak Sejarah
Berbeda dengan PDIP, Ardian mengatakan hal tak menguntungkan justru dapat menimpa Partai Golkar. Menurutnya, Beringin berada di urutan ketiga dan masih harus kejar-kejaran dengan Partai Gerindra di posisi dua.
Bendera Partai Golkar. (Safir Makki)
|
Jika Golkar tidak dapat menaikkan suaranya, Ardian mengatakan Partai Golkar akan mencetak sejarah buruk dengan terlempar dari posisi satu atau dua dalam pemilu. Pasalnya, dalam gelaran pemilu pascareformasi Partai Golkar selalu masuk di dua besar.
"Jika tidak ada perbaikan, ini bisa menjadi sejarah yang kurang bagus karena pertama kalinya dalam sejarah Golkar terlempar dari posisi satu atau dua pemenang pemilu," ucapnya.
Diketahui, pada Pileg 1999 Golkar menjadi pemenang dan memperoleh suara 22,44 persen. Pada pileg 2004, Golkar menang atas PDIP dengan perolehan suara 21,62 persen. Sedangkan pada pileg 2009,Golkar kalah dari Demokrat dengan suara 14,45 persen; dan pada Pileg 2014 Golkar kalah dari PDIP dengan suara 14,75 persen.(arh)
http://bit.ly/2RffTX0
January 09, 2019 at 12:06AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2RffTX0
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment