Saturday, January 5, 2019

Ulasan Film: 'Roma'

Jakarta, CNN Indonesia -- Melihat Roma seperti melihat sebuah dokumenter kehidupan masyarakat kelas bawah yang berjuang, bukan hanya secara ekonomi dengan menjadi pekerja rumah tangga, namun juga menerima kehidupan yang kadang terasa kejam.

Sutradara peraih Oscar Alfonso Cuaron menampilkan satu babak kehidupan dramatis dari Cleodegaria "Cleo" Gutiérrez (Yalitza Aparicio) yang dibawakan secara emosional tak berlebihan, dan terasa personal.

Roma digarap, ditulis, dan disunting sendiri langsung oleh Cuaron. Mengangkat kisah yang terinspirasi dari kehidupannya sendiri, Cuaron menempatkan berbagai aspek, mulai dari soal alur, teknik, hingga rasa dari film terasa pas dan sesuai dengan porsinya.

Berlatar di awal dekade 1970-an, Cleo merupakan seorang asisten rumah tangga pada umumnya. Setiap harinya, ia sibuk melayani sebuah keluarga kelas menengah di Mexico City dan menjadi pengasuh bagi empat anak dalam keluarga tersebut.


Ia juga seorang wanita asisten rumah tangga pada umumnya. Dengan polos, ia terpikat dan jatuh cinta dengan seorang laki-laki dari kelas sosial yang sama. Keduanya memadu kasih, hingga kemudian Cleo hamil.

Di sisi lain, nyonya majikannya yang bernama Sofia harus menghadapi kelakuan sang suami, Antonio, yang jarang pulang dan pemarah. Hingga suatu kali, Sofia menyadari Antonio memiliki wanita simpanan.

Cleo bukan hanya harus menghadapi kondisi emosional majikannya yang berantakan sembari mengurus empat anak-anaknya dan rumah yang besar, tetapi juga cerita cintanya yang nelangsa. Ia ditinggalkan sang pacar yang tak mau mengakui si jabang bayi.

Cerita nelangsa Cleo tak berhenti di situ. Berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan kemandirian di tengah situasi yang tak menentu, Cleo dalam perjalanannya menemukan hal lain yang jauh lebih berarti.

Ulasan Film: 'Roma'Film 'Roma'. (dok. Netflix)

Kisah film ini memang humanistik. Tipikal Cuaron. Ia gamblang menunjukkan kehidupan nyata masyarakat menengah ke bawah yang berkutat dengan masalah sehari-hari dan jauh dari hingar-bingar politik kekuasaan.

Namun bukan berarti Cuaron tak menunjukkan masalah sosial-politik di era tersebut. Ia juga menunjukkan bagaimana masyarakat merasakan ketidakpuasan akan masalah ekonomi dan kesejahteraan serta mengungkapkannya kepada pemerintah.

Satu yang menarik dari Roma adalah keputusan Cuaron memilih pewarnaan monokrom untuk film ini. Dengan teknik tersebut, Cuaron 'memaksa' penonton untuk mengikuti ceritanya alih-alih fokus dengan warna gambar yang kadang menipu mata.

Selain itu, pengambilan gambar yang cenderung stabil membuat penonton 'kalem' mengikuti alur cerita Roma hingga benar-benar memahami emosi yang disampaikan Cuaron dalam film ini.


Cuaron juga tak banyak menggunakan scoring musik selain suara yang muncul dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari gemericik air, suara menyikat lantai, parade jalanan, hingga suara kebakaran hutan.

Meski pada awalnya dan di beberapa bagian terkesan menjadi 'berisik', namun secara tidak langsung scoring suara 'sehari-hari' itu merupakan keputusan tepat bila Cuaron ingin menampilkan film yang dramatis tanpa banyak bumbu-bumbu drama. Emosional tanpa lebay.

Melalui Roma, Cuaron menunjukkan bahwa dirinya benar-benar memperhatikan segala aspek dalam film ini secara mendetail, setiap gerakan kamera, momen-momen adegan, hingga tatapan para pemainnya tertata secara halus dan terkonsep. Sehingga wajar banyak yang menyebut film ini sebagai mahakarya.

Penilaian tersebut pun mendulang berbagai pujian dan penghargaan bagi Roma, salah satunya Golden Globe Awards 2019 yang mendapatkan tiga nominasi: Best Foreign Language Film, Best Director, dan Best Screenplay.

[Gambas:Youtube]

Bagi sebagian penonton, apalagi di Indonesia, film 'Roma' mungkin akan membuat bosan di awal-awal menonton, apalagi film ini berbahasa Spanyol dan tak terlalu banyak dialog juga aksi heboh yang mengundang decak kagum.

Namun, Cuaron memang lebih senang 'alon-alon asal kelakon', perlahan namun mencapai tujuannya di akhir.

Salah satu penyesalan saya usai menonton Roma yang rilis pada akhir Desember lalu di Netflix adalah tidak memasukkannya sebagai salah satu film terbaik untuk CNNIndonesia.com pada 2018. Film ini sebenarnya layak mendapatkan gelar itu berdasarkan teknik sinematografi dan kekuatan ceritanya.

Namun terlepas dari gelar tersebut, toh film ini sudah secara umum masuk berbagai daftar film terbaik berkat kenangan Alfonso Cuaron. (end)

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2CRSC4p
January 06, 2019 at 09:29PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2CRSC4p
via IFTTT
Share:

0 Comments:

Post a Comment