Laporan Bank Dunia bertajuk 'Infrastructure Sector Assessment Program' yang dirilis pada Juni 2018, seperti dikutip dari Kajian Biaya dan Layanan Ketenagalistrikan 2017, melansir bahwa rata-rata tarif listrik dipungut di bawah biaya balik modalnya. Tarif itu juga dipatok di bawah biaya layanan.
Tidak cuma listrik, tarif pelanggan air minum Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) juga dikelola cukup rendah. Ironisnya, tarif listrik dan air minum dijaga untuk tetap rendah karena alasan politis, mengingat tarif tersebut harus mendapat persetujuan lembaga eksekutif dan legislatif (kementerian dan DPR/DPRD).
Tak heran, pendapatan yang diperoleh dari layanan listrik dan air minum sering kali tidak mampu menutup biaya operasional, apalagi menambah investasi baru.
Padahal, lanjut laporan Bank Dunia tersebut, pendapatan yang diperoleh dari biaya yang dibayarkan oleh masyarakat menjadi pondasi investasi infrastruktur yang berkelanjutan.
"Sebagai hasilnya, belanja modal dan biaya layanan seringkali bergantung pada subsidi pemerintah baik langsung maupun tidak langsung," tulis laporan Bank Dunia.
Misalnya, PT PLN (Persero) yang sangat bergantung pada pembayaran subsidi dari pemerintah. Subsidi tersebut menutup selisih antara biaya penyediaan tenaga listrik dengan tarif yang dikenakan kepada pelanggan.
Bahkan, meski menerima subsidi, tingkat pengembalian ekuitas (return on equity/RoE) PLN hanya 2 persen, di bawah RoE yang layak secara komersial 12 persen dan di bawah potensi yang diperoleh pemerintah dengan menerbitkan surat utang negara 7,6 persen.
Akibatnya, PLN terus menerus kesulitan dalam menghasilkan modal yang diperlukan untuk melakukan investasi baru dan memenuhi kewajiban dalam Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement/PPA).
Perlu diingat, program investasi PLN cukup ambisius di sektor ketenagalistrikan, tanpa perubahan skenario, sokongan dana pemerintah diperkirakan melonjak dua kali lipat dalam lima tahun, yaitu dari Rp60,91 triliun pada 2018 menjadi Rp117,07 triliun pada 2022.
Sementara, di sektor air, hampir 75 persen PDAM di Indonesia merugi, di mana separuhnya dikategorikan tidak sehat secara keuangan oleh pemerintah. Penyebabnya, tak lepas dari pendapatan yang rendah ditambah dengan kesulitan untuk mendapatkan dana dari masyarakat untuk menutup selisih antara biaya dan tarif.
Tumpah Tindih Aturan
Menurut Bank Dunia, perubahan skema tarif mengalami kesulitan karena ketidakcakapan otoritas dalam mengatur sektor terkait. Di sektor ketenagalistrikan, misalnya, sejumlah peraturan yang dirilis baru-baru ini terlihat mendukung peningkatan partipasi swasta.
Namun, sejumlah regulasi lain masih bertujuan untuk melindungi atau meningkatkan pangsa pasar PLN, dan menghambat pelaksanaan PPA baru dan pengembangan perusahaan penyedia listrik swasta (IPP).
Sedangkan di sektor air minum, kerangka peraturannya masih lemah di mana pemerintah daerah (pemda) mengatur operasional manajamen PDAM. Akibatnya, sektor ini tidak mampu menawarkan tingkat pengembalian yang cukup bagi investor.
Ke depan, Bank Dunia mengusulkan tarif perlu disesuaikan. Tarif tersebut nantinya harus mencerminkan pengembalian biaya operasional. Tarif juga harus mencakup tujuan pendanaan baru, termasuk investasi, juga kemampuan pelanggan untuk membayar. Selain itu, tarif harus mencerminkan semangat pemerataan ekonomi rakyat miskin.
Implementasi reformasi tarif akan mengurangi kebutuhan untuk subsidi dan meningkatkan kemampuan dan keinginan sektor swasta untuk berinvestasi di proyek infrastruktur terkait. Hal ini membutuhkan penilaian secara hati-hati pada setiap sektor dan segmen pasarnya.
"Pemerintah harus menentukan sektor mana yang cocok dilakukan reformasi tarif dan memprioritaskan sektor tersebut untuk direformasi terlebih dahulu," terang Bank Dunia.
Di saat bersamaan, pemerintah juga harus menjamin dukungan untuk segmen pasar yang tidak mampu untuk menanggung tarif yang lebih tinggi untuk penyediaan layanan dasar.
Penilaian tersebut telah dilakukan untuk sektor ketenagalistrikan. Dalam Laporan Biaya dan Tarif Layanan Ketenagalistrikan, rekomendasi tersebut berupa konsolidasi kategori tarif dan mengenalkan rata-rata tarif yang mencerminkan biaya penyediaan secara progresif dengan mempertimbangkan kemampuan dan tujuan pelanggan.
Selain itu, menetapkan RoE PLN minimal tujuh persen serta memperkenalkan pembanding efisiensi sebagai bagian kerangka peraturan berbasis insentif.
Untuk sektor lain, demi meningkatkan ketertarikan investor, pemerintah juga perlu menaruh perhatian pada potensi sumber pendapatan tidak langsung dari proyek yang dikerjakan. Hal ini bisa menjadi alternatif di saat pendapatan langsung tidak bisa diandalkan untuk mendapatkan pendanaan yang berkelanjutan.
Lebih lanjut laporan Bank Dunia juga menyarankan agar pemerintah mau dan mampu menahan diri untuk tidak mempengaruhi tarif demi kepentingan politis dan keuangan jangka pendek.
CNNIndonesia.com telah menghubungi Bank Dunia terkait publikasi ini. Namun, Bank Dunia berkomentar bahwa laporan tersebut belum final.
"Artikel-artikel ini mengutip sebuah laporan Bank Dunia yang saat ini tengah difinalisasi dalam kerja sama dengan Pemerintah Indonesia. Laporan ini berjudul Indonesia Infrastructure Financing Sector Assesment Program (InfraSAP)," tulis Bank Dunia.
(sfr/bir)
http://bit.ly/2LTJdw6
January 07, 2019 at 09:51PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2LTJdw6
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment