
Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai program tersebut memang merupakan strategi Sriwijaya Air untuk menghimpun dana di depan. Strategi tersebut, lanjut Alvin, sebetulnya lumrah dilakukan, dengan konsekuensi perseroan harus memenuhi perjanjian awal dengan penumpang.
Alvin menuturkan sebetulnya strategi berlangganan tiket ini sudah diterapkan di beberapa negara maju, seperti Jepang yang memberlakukan program serupa untuk tiket kereta. Namun, dalam catatannya, Sriwijaya Air memang merupakan pionir program keanggotaan tiket terbang di Indonesia.
"Kalau bisa dapat uang di muka akan meringankan biaya dana daripada pinjam uang di bank. Jadi lebih murah daripada bayar bunga di bank," kata Alvin kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/1).
Senada, Pengamat penerbangan Budhi Mulyawan Suyitno juga menilai program Sriwijaya Travel Pass merupakan strategi Sriwijaya Air untuk menghimpun dana di depan. Namun, ia menilai kemungkinan ada kesalahan perhitungan dari pihak Sriwijaya Air dalam program tersebut.
"Mungkin jumlah anggota yang ikut program kurang dan orang yang menjadi anggota merupakan penumpang dengan frekuensi penerbangan tinggi. Saya melihatnya mereka kurang cermat dan ada kegagalan perhitungan," kata Budhi.
Sriwijaya Air hendaknya, lanjut Budhi memberikan transparansi di awal terkait program SJ Travel Pass. Misalnya, terkait jumlah anggota yang seharusnya terhimpun dari program tersebut sehingga ke depannya bisa berjalan lancar.
"Ini tidak ada transparansi. Harus win-win solution, konsumen tidak dirugikan dan pihak maskapai juga tidak merugi, jika perlu dihadirkan pihak ketiga," ujarnya.
Terlepas dari ribut-ribut soal program travel pass. Kondisi keuangan Sriwijaya Air saat ini memang dapat dibilang tak berada dalam kondisi baik. Baru-baru ini, operasional dan keuangannya diambil alih oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk.
Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara menjelaskan kerja sama ini bertujuan untuk memperbaiki operasi dan kinerja keuangan, khususnya arus kas Sriwijaya Air Group. Dengan demikian, diharapkan Sriwijaya Air dapat memenuhi kewajiban mereka terhadap pihak ketiga, salah satunya Garuda Indonesia Group.
Mengutip laporan keuangan Garuda Indonesia per September 2018, total utang Sriwijaya Air kepada BUMN tersebut mencapai Rp345,2 miliar.
Rinciannya, Sriwijaya Air memiliki utang pemeriksaan menyeluruh (overhaul) 10 mesin pesawat sebesar US$9,33 juta atau sekitar Rp135,2 miliar (asumsi kurs Rp14.500 per dolar AS). Utang tersebut rencananya akan dibayar dengan mencicil selama 36 bulan.
Selain itu, ada pula utang perawatan pesawat sebesar US$6,28 juta setara Rp91 miliar dan tunggakan Rp119,77 miliar yang telah dianjak piutang kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI).
Kedua utang tersebut merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Siriwijaya Air atas jasa perawatan pesawat pada anak usaha perusahaan, PT Garuda Maintanance Facility Aeroasia (GMF AeroAsia).
Ari mengaku pihaknya juga membuka peluang untuk mengkonversi kewajiban Sriwijaya Air menjadi saham. Perseroan sedang menunggu saran dan masukan dari konsultan independen Garuda Indonesia untuk mengeksekusi rencana tersebut.
"Nanti kami juga akan konsultasi dengan Menteri BUMN untuk ambil alih saham, karena ini semua harus minta ijin dari BUMN," terang Ari belum lama ini. (ulf/agi)
http://bit.ly/2QBmfug
January 11, 2019 at 12:13AM from CNN Indonesia http://bit.ly/2QBmfug
via IFTTT
0 Comments:
Post a Comment